LOGO WOODMARK SENTRA ILMU

Sistem Penamaan Orang Bali

Pengetahuan Umum

Nama menjadi suatu identitas diri yang pertama diperoleh seseorang sewaktu lahir. Penamaan setiap orang dipengaruhi oleh beragam faktor mulai dari budaya, agama,  hingga bahasa yang digunakan. Ungkapan nama juga dimaknai sebagai doa untuk menggambarkan bagaimana sebuah nama dibuat bukan hanya sebagai identitas seseorang tapi juga sebagai harapan bagi si pemilik nama. Hal ini tercermin dari sistem penamaan berbagai suku bangsa di Indonesia yang unik dan beragam. Sistem penamaan dalam berbagai budaya di masyarakat Indonesia berbeda-beda, tata cara penamaan pun juga memiliki variasi tergantung dari asal pulau, suku, kebudayaan, bahasa, bahkan hingga pendidikan yang diperoleh. Begitu juga sistem penamaan yang akan  di bahas pada artikel kali ini, yaitu tentang sistem penamaan di Bali. Mengapa nama-nama orang Bali banyak yang sama? Ternyata Bali sendiri memiliki aturan untuk sistem penamaan masyarakatnya. Biasanya nama masyarakat diatur menurut jenis kelamin, urutan kelahiran, dan sistem kasta.

Alasan pertama nama-nama orang Bali banyak yang sama karena banyak orang Bali membuat nama berdasarkan jenis kelamin. Nama I dan Ni yang paling umum digunakan. Nah, untuk nama yang menggunakan awalan I menunjukkan bahwa pemilik nama tersebut adalah laki-laki, misalnya ada I Gede dan ada juga I wayan. Adapun nama yang menggunakan awalan Ni menunjukkan bahwa pemilik nama tersebut adalah perempuan. Misalnya Ni Ketut Rumini, Ni Luh, Ni Ketut Mahadewi, dan masih banyak lagi. Nama berdasarkan jenis kelamin bisa menjadi cara termudah bagi kita untuk mengetahui jenis kelamin seseorang meskipun kita tidak begitu mengenal atau bahkan belum pernah bertemu dengan orang tersebut.

Selanjutnya alasan kedua, banyak orang Bali memberi nama pada anaknya berdasarkan urutan kelahiran. Untuk anak pertama, baik laki-laki maupun perempuan, biasanya menggunakan nama Wayan, Putu, atau Gede. Namun secara khusus, nama Gede umumnya diberikan untuk anak laki-laki. Misalnya I Wayan Adi bawa (laki-laki) dan Ni Putu Eka (perempuan). Untuk anak kedua biasanya ada nama Made, Nengah, dan Kadek. Nama-nama ini bebas digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Contohnya adalah I Made Mangku Pastika (laki-laki), Ni Nengah Dwi Arianti (laki-laki), dan masih banyak lagi. Untuk anak ketiga, nama Nyoman dan Komang biasa digunakan. Misalnya ada Ni Komang Wedri (perempuan) dan ada juga I Nyoman Wibisana (laki-laki). Sedangkan anak keempat biasanya diberi nama Ketut. Dahulu hanya ada 3 aturan penamaan anak, nama untuk anak 1, 2, dan 3. Namun semakin banyak keluarga dengan empat anak, sehingga aturan penamaan untuk anak keempat mulai terbentuk. Nah, karena anak keempat ini mengikuti kelahiran anak-anak sebelumnya yaitu kakak-kakaknya, maka anak keempat ini diberi nama Ketut yang artinya mengikuti atau membuntuti. Misalnya ada I Ketut Jaya (laki-laki) dan ada juga Ni Ketut Ari Pratiwi (perempuan). Lalu jika aturannya hanya sampai empat nama, lantas bagaimana dengan keluarga dengan anak lebih dari empat, apakah yang lainnya tidak memiliki nama? Untuk keluarga dengan anak lebih dari 4 misalnya jumlah anak 6. Anak 1-4 sudah memiliki nama, nah anak yang kelima ini penamaannya akan ikut penamaan anak pertama bisa pakai nama Wayan, Putu atau Gede,  untuk anak keenam dapat penamaan sama dengan anak kedua bisa pakai nama Made,Nengah atau Kadek, dan seterusnya sampai adil dan semua anak mendapat nama.

kemudian alasan ketiga, banyak orang Bali memberi nama pada anaknya berdasarkan sistem kasta. Bali merupakan sebuah provinsi yang mayoritas dihuni masyarakat pemeluk Agama Hindu. Oleh karena itu, tidak heran kalau teman-teman akan menjumpai sistem kasta masyarakat Bali. Hanya saja, sistem kasta masyarakat Hindu Bali memiliki bentuk yang lebih sederhana dibandingkan dengan sistem kasta Hindu di India. Sistem kasta Bali yaitu suatu sistem organisasi sosial yang mirip dengan sistem kasta India. Kemiripan ini bisa terjadi sebab kedua sistem ini bersumber dari akar yang sama, yaitu kesalahan dalam penerapan sistem Warna yang bersumber dari Weda. Di Bali hanya ada empat kasta dalam sistemnya, yaitu Sudra, Waisya, Kshatriya, dan Brahmana. Di dalam masyarakat Hindu diketahui adanya sistem warna,yaitu suatu sistem pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi yang ditekuni, bakat dan keahlian. Pada perkembangannya, sistem warna dari agama Hindu ini sering diselewengkan oleh penguasa penguasa feodal dan pengikut pengikutnya untuk melanggengkan pengaruh politisnya dimasyarakat. Sistem warna yang merupakan pengelompokan orang berdasarkan tugas dan kewajiban yang dijalankan di dalam kehidupan bermasyarakat berubah menjadi tingkatan-tingkatan yang membedakan derajat seseorang berdasarkan keturunan. Ide landasan dari sistem ini, yaitu pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi dan keahlian, sering atau bahkan terabaikan sama sekali. Tingkatan-tingkatan kelas inilah yang kemudian disebut dengan kasta.

Berbeda dengan sistem Warna yang bersumber dari petuah Weda, sistem kasta yang sering tersamarkan dengan keberadaan sistem warna ini, yaitu sebuah kata yang bersumber dari bahasa portugis yang berarti tembok pemisah. Penerapan politik devide et impera pada masa pendudukan Hindia Belanda menciptakan sistem kasta dalam masyarakat Hindu Bali menjadi semakin kuat dan bahkan menggeser pengertian sistem warna yang asli.

Terdapat empat kasta dalam masyarakat Bali yang diambil dari sistem warna, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut yang tertinggi menurut sistem kasta yaitu Brahmana, sebab dalam kitab weda yang memuat mengenai sistem warna tertulis:

1. G2-Sistem Penamaan Orang Bali

“golongan Brahmana keluar dari mulut Dewa Brahmana, gugusan Ksatria dari tanganya, Waisya dari paha atau perutnya, Sudra keluar dari telapak kakinya”.

Sebab inilah sistem kasta yang mengadopsi sistem warna, kemudian menganggap gugusan Brahmana sebagai yang tertinggi.

Berbeda dengan keyakinan landasan agama Hindu yang memandang semua warna dalam masyarakat sama sama memiliki nilai penting masing masing, ini jelas berbeda dengan apa yang kemudian diimplementasikan oleh sistem kasta, yang beranggapan sebagai: brahmana yang tertinggi sebab kepala yaitu anggota tubuh teratas, dan sudra yaitu kaki, maka sangat rendah derajatnya.

Faedah kiasan yang mengatakan bahwa gugusan Brahmana keluar dari mulut Dewa Brahma yaitu bahwa gugusan Brahmana yaitu guru rakyat, sebab mulut merupakan saluran buah pikiran. Oleh sebabnya, gugusan Brahmana merupakan kasta tertinggi yang suaranya harus didengar dan ditaati. Gugusan ini terdiri atas para pendeta dan pemimpin agama. Tugasnya menjalankan upacara-upacara keagamaan. Untuk nama orang bali yang menduduki kasta Brahmana biasanya akan menggunakan gelar ida. Ada Ida Ayu untuk jenis kelamin perempuan dari kasta brahmana dan ada Ida Bagus untuk jenis kelamin laki-laki dari kasta brahmana. Contohnya Ida Ayu Ratih (untuk perempuan), dan Ida Bagus Oka (untuk laki-laki).

Gugusan Ksatria yang diberitahukan keluar dari tangan Brahma berarti, berarti bahwa gugusan Ksatria menjadi gugusan pemerintah, sebab tangan diperlukan untuk memanggul senjata pada saat peperangan menahan serangan musuh. Gugusan Ksatria terdiri dari raja, bangwasan, dan prajurit. Tugasnya menjalankan pemerintahan. Nah lanjut untuk artikula yang dipakai pada jenis kelamin laki-laki di kasta ksatriya ini hampir sama dengan kasta brahmana. Cuman yang membedakan itu terletak pada artikula pengikutnya. Kalau kasta brahmana tadi ada ida bagus. Nah sedangkan di kasta ini untuk laki-laki artikula pengikutny adalah Cokorda, contohnya ada Ida cokorda anglurah Tabanan. Tapi untuk penanda nama perempuan pada kasta ini ada aturannya sendiri biasanya tidak di awali dengan artikula Ida tapi langsung Cokorda. Contohnya ada Cokorda Istri krisnanda dan Sagung Istri pramita.

Kasta Waisya keluar dari perut atau paha Dewa Brahma. Paha berfungsi membawa tubuh dari suatu tempat ke tempat lain. Oleh sebabnya, Kasta Waisya terdiri dari pada pedagang yang membawa jualan ke berbagai tempat. Dengan kata lain kasta Waisya bertugas menjalankan roda perekonomian. Golongan ini punya Gelar ngakan, kempyang, sang, dan si. Tapi untuk saat ini, pemberian nama depan dengan gelar tersebut sudah sangat jarang ditemui. Kenapa? Karena sekarang profesi mereka sudah beragam, keturunan leluhur juga banya yang tidka melanjutkan profesi leluhurnya. Sehingga biasanya mayoritas dari mereka lebih memilih menggunakan naka umum sesuai denga urutan kelahiran. Contohnya ada Ngakan Gedhe sugiharta (laki-laki), Kompyang ayu sukarthi (perempuan), dan Siluh Made desi (perempuan).

Kasta Sudra keluar dari telapak kaki Dewa Brahma. Kaki yaitu anggota tubuh yang sangat di bawah, maka kasta Sudra menjadi kasta yang sangat rendah posisinya dan harus melayani kasta-kasta yang ada di atasnya. kasta ini diisi oleh golongan para pekerja dan buruh, tapi sekarang profesi yang ada sudah mulai sangat beragam Sehingga kasta ini tidak memiliki gelar khusus jadi banyak dari maysrakat bali dengan kasta sudra lebih memilij pemberian nama berdasarkan urutan kelahiran pada umumnya. Contohnya adalah I Wayan jaman (laki-laki), Ni Nyoman Sri (perempuan).

 

Tulisan ini merangkum dari sumber-sumber yang terdapat di google scholar

Baca artikel menarik yang membahas pengetahuan umum lainnya

Tags :
Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Posts

Ada Pertanyaan?

Sampaikan pertanyaan jika kamu masih belum memahami materi yang Sentra Ilmu terbitkan

ask@sentrailmu.com